Bung Hatta Bapak Koperasi Indonesia menafsirkan
maksud UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Kata “Koperasi” memang tidak disebutkan dalam
pasal 33, ayat 1 tetapi “asas kekeluargaan” itu ialah koperasi. Begitu pula-lah
hendaknya corak koperasi Indonesia. Hubungan antara anggota koperasi satu sama
lain harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga.
Rasa solidaritas harus dipupuk dan diperkuat.
Anggota dididik mempunyai sifat “individualitas”,
insaf akan harga dirinya. Apabila ia telah insaf akan harga dirinya, tekadnya
akan kuat membela kepentingan koperasinya. Ingatannya akan tertuju kepada
kepentingan bersama.
“Individualitas” menjadikan seorang anggota
koperasi sebagai pembela dan pejuang yang giat bagi koperasinya. Dengan naik
dan maju koperasinya, kedudukannya sendiri ikut naik dan maju. Dalam pelajaran
dan usaha koperasi di bidang manapun juga, ditanam kemauan dan kepercayaan pada
diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan “self-help” dan oto-aktivitas
untuk kepentingan bersama.
Dalam mengasuh anggota koperasi selalu diutamakan
cinta kepada masyarakat yang kepentingannya harus didahulukan dari kepentingan
diri sendiri. Oleh karena itu anggota koperasi harus mempunyai tanggung jawab
moral dan sosial. Apabila tanggung jawab yang dua itu tidak ada, maka koperasi
tidak akan tumbuh, tidak akan menjadi.
Menurut Hanel (1989), yang disebut Koperasi
adalah: Sejumlah kelompok individu yang bersatu dalam suatu kelompok atas dasar
salah satu kepentingan (ekonomi) yang sama (cooperative group). Anggota
kelompok tersebut bertekad mencapai tujuan dan kepentingan yang sama secara
lebih baik melalui usaha bersama dan saling membantu atas dasar kekuatan
sendiri secara swadaya. Sebagai alat untuk mencapai tujuan atau kepetingan
kelompok maka dibentuk perusahaan yang didirikan , dimodali, dibiayai,
dikelola, diawasi dan dimanfaatkan sendiri oleh anggotanya yang mempunyai tugas
pokok meneyelenggarakan pelayanan barang dan jasa yang menunjang perbaikan
perekonomian rumah tangga.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 pasal 3,
koperasi bertujuan memajukan anggota khususnya masyarakat pada umumnya ikut
serta membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berlandaskan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Badan Usaha Koperasi, disamping adanya kemauan
orang perorang untuk menghimpun diri secara sukarela bekerjasama untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, tunduk terhadap kaidah dan prisip
ekonomi yang berlaku dengan mengacu pada konsep dan sistem yang bekerja pada
suatu badan usaha, merupakan kombinasi , manusia aset fisik non fisik dan
teknologi.
Sinergitas antara sosial dan ekonomi, adalah
modal utama dalam berkoperasi. Modal sosial sebagai perekat yang memperkokoh
jalinan antara anggota sebagai basis yang memperkuat kebersamaan dalam mencapai
kepentingan dan tujuan Ekonomi.
Ketangguhan koperasi telah terbukti mampu menahan
badai krisis moneter baik yang terjadi di tahun 1997 mapun krisis global dunia
yang terjadi di tahun 2008 silam. Krisis global dunia tahun 2008, telah
melumpuhkan perekonomian dunia, namun saat itu Indonesia tidak terlalu
merasakan dampak krisis tersebut .
Gerakan
koperasi pada saat ini bisa dikatakan makin meredup. Sebab, seperti yang
dikatakan Budi Laksono (2007), pejabat pemerintah kehilangan jejak substansi
filosofis pembangunan koperasi sebagai soko guru ekonomi. Selain itu,
disebabkan pula oleh perubahan Departemen Koperasi menjadi Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Sehingga, berimplikasi pada menurunnya
perhatian pemerintah pada upaya menggerakkan koperasi yang digagas pendiri bangsa,
Bung Hatta sebagai soko guru perekonomian. Karena itu, tak heran, jika Sri Edi
Swasono pakar koperasi menilai bahwa, langkah-langkah yang dilakukan Kementrian
Koperasi dan UKM salah arah dan hanya terfokus pada UKM. Padahal, lanjut
Swasono, UKM lebih banyak dilakukan oleh individu-individu, sedangkan koperasi
lebih mengedepankan kebersamaan.
Di samping itu, koperasi yang sudah makin meredup itu, diperparah lagi
dengan konflik internal aktivis gerakan koperasi. Konflik yang sebenarnya sudah
terjadi dua tahun lalu itu, diawali oleh kelompok aktivis gerakan koperasi
ketika mendeklarasikan Dekopin tandingan. Deklarasi Dekopin itulah kemudian
yang menyeret Kementrian Koperasi dan UKM untuk terlibat masuk ke arena
konflik, karena dianggap telah menelurkan keputusan yang merugikan salah satu
pihak yang bertikai. Menteri akhirnya digugat dan berperkara hukum dengan salah
satu Dekopin yang dikembari. Tak urung, pembinaan koperasi di daerah makin
kedodoran. Sebab, dewan koperasi yang semestinya menjadi payung koperasi-koperasi
di daerah tidak lagi sempat memikirkan pengembangan dan pembinaan, karena lebih
asyik bertikai dengan sesama aktivis Dekopin lain versi, yang sampai saat ini
belum kunjung usai. Sehingga, akibat konflik itu, dana pembinaan koperasi dari APBN
oleh Menteri Keuangan tidak dicairkan sebelum kasus pertikaian itu selesai.
Menurut data, kinerja koperasi di Indonesia
mengalami peningkatan yang menggembirakan pada periode 2010 -2012, jumlah
koperasi meningkat dari 177.482 unit pada tahun 2010 menjadi 192.442 unit
pada Mei 2012 naik 14.960 unit atau 8,43 %. Sementara keanggotaan koperasi
dari 30.461.121 pada tahun 2010 naik menjadi 33687.417 orang pada Mei 2012 naik
3.226.996 orang atau 10,59 %. Sedangkan untuk tenaga kerja yang terserap
dari 358.768 tenaga kerja meningkat pada tahun 2012 menjadi 425.822 orang, naik
67.054 atau 18,69 %.
Namun ternyata pertumbuhan koperasi juga
berbanding lurus dengan “ketidak aktifan” koperasi (mangkrak). Paling tidak ada
sekitar 47.000 koperasi yang tidak aktif atau disalah gunakan untuk kepentingan
tertentu yang justru merusak citra koperasi . Tidak aktifnya koperasi dapat
disebabkan beberapa hal : kurangnya dana, kurangnya anggota terampil dan
terlatih, serta majemen yang tidak efisien. Sedang penyebab citra koperasi
menjadi buruk dikarenakan tujuan pendirian koperasi telah menyimpang dari
tujuannya semula dan penyelewengan yang dilakukan oleh “oknum” untuk memperkaya
diri dan kelompoknya.
Bila dilihat dari data diatas peningkatan secara
kuantitatif mestinya dibarengi dengan peningkatan kwalitas. Pakar hukum
Koperasi Munkner Jerman (1982) sebagaimana dikutip Koch mengatakan Orientasi
pengembangan kebijakan koperasi lebih kepada data kuantitatif, yang mengukur
kemajuan koperasi dari jumlah koperasi yang didirikan, jumlah anggota, volume
usaha yang dicapai sementara ukuran aspek kualitatif yang seharusnya menjadi
ukuran sering diabaikan.
Koperasi pada umumnya akan dapat berkembang
apabila pengurus koperasi memiliki jiwa dan semangat enterpreneur yang mampu
mencari peluang usaha sekaligus membangun jaringan dengan stake holders .
Disamping tumbuhnya koperasi menjadi pelaku usaha menengah dan besar, banyak
tumbuh koperasi yang baru dengan skala kecil yang membutuhkan pembinaan agar
bisa menjadi pelaku ekonomi yang mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya.
Diakui atau tidak keterbatasan sumberdaya manusia
menjadi kendala serius dalam perkoperasian, fakta menunjukkan kemampuan
pengelolaan koperasi kita masih rendah, sehingga diperlukan pembinaan baik
terhadap pengurus maupun anggota sehingga mendapatkan pemahaman, menjalankan
dan mengembangkan usaha sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Sumber :
http://www.beritametro.co.id/opini/masihkan-koperasi-jadi-soko-guru-perekonomian-indonesia
http://mpn.kominfo.go.id/index.php/2012/07/13/koperasi-masihkah-sebagai-soko-guru-ekonomi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar